SETELAH sekian lama tidak membuka dan membaca diary masa SMP dan SMAku, baru saja aku membuka
dan membacanya lagi. Membacanya membuatku menyunggingkan senyum berkali-kali,
rasa rindu dan senang serempak datang menghampiriku dimalam minggu ini. Sebuah
buku mungil warna pink itu telah berhasil menghiburku, membuatku sejenak
melupakan masalah yang sedang terjadi dalam percintaanku.
Aku belum
sepenuhnya melupakan, bahkan kenyataannya aku tak pernah bisa melupakan tetapi
aku tak mau ambil pusing. Biarlah. Jika dia ingin berpusing-pusing ria
memikirkan hal ini. Silahkan, aku ingin bernostalgia dan bersenang-senang hari
ini dan selanjutnya.
Bukannya aku
tertawa diatas penderitaan orang lain. Tidak. Aku tidak sedang bersamanya,
bercengkrama dan bersenang-senang dengannya. Silahkan kau bermandikan dan
berteman dengan segala prasangka dan negative
thingking-mu padaku. Aku tidak peduli. Kamu hanya mempersulit dirimu, kamu
tidak mau menyederhanakan pandangan dan pemikiranmu. Bahkan penyikapanmu
terhadap suatu masalah pun begitu rumit. Ya sudahlah, nikmati kepedihan yang
kau ciptakan sendiri.
Seandainya aku jadi
kamu, aku tidak akan menenggelamkan diriku kedalam kolam kepenatan dan
kesedihan yang bisa membunuhku. Karena hidupku begitu berharga untuk disia-siakan. Aku
memghilang sejenak dari semuanya. Mereka berdua dan semua kehidupanku di kota itu.
Selama dua pekan
ini aku ingin tenang, meninggalkan segala kesibukan yang menyita waktuku. Di
sini, dikampung halamanku dimana aku bisa merasakan kehangatan sekaligus kesejukan yang meresap
kedalam tubuh dan hatiku, aku dapat mengatur hidupku kembali dan merasakan kenyamanan. Yah,
sebuah keluarga adalah sahabat terbaik yang kita miliki tempat kita mengadu,
berkeluh kesah dan menumpahkan segala kelelahan yang menghampiri kita.
* * *
18 pesan diterima
Aku mengaktifkan
kembali ponselku setelah seharian ku non-aktifkan. Satu persatu ku baca
pesan-pesan yang memenuhi inbox ku, namu ada dua pesan yang membuat
hatiku tercabik. Benar, pesan-pesan itu darinya. Pesan lanjutan dari pesan-pesan
yang telah mengisi hampir semua inbox di ponselku. Dia tidak menerima permintaan
maafku dan sepertinya dia tidak akan memaafkanku. Dia hanya mengetahui
sepenggal saja yang terjadi, dia hanya mengetahui tentang perasaanku. Itu saja,
tapi itu sudah cukup untuk memunculkan kembali kebenciannya padaku seperti
sebelumnya. Apa mungkin selama ini kebenciaannya padaku tidak pernah hilang?
Ah, sudahlah! Aku tidak mau memperburuk keadaan. Sudah cukup, aku lelah.
Tidak salah
mencintai seseorang. Tidak salah memberi perhatian pada orang yang kita sayang.
Yang salah adalah dengan cinta itu kita menyakiti orang lain dan dengan cinta
itu kita menghancurkan yang ada.
Seribu maaf yang
terucap tidak akan mengubah yang terjadi menjadi seperti semula. Hanya
perbuatan yang bisa dilakukan tapi kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu tetap memberinya
perhatian. Karena apa? Karena sebenarnya ini yang kamu inginkan dari hubungan
ku dengan Deas.
Itulah dua pesan dari sekian pesan yang membuatku tidak tenang.
Sebelumnya, tepatnya semalam sudah banyak pesan-pesan serupa yang mendatangi
ponselku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menghilang, memutus hubungan komunikasiku.
Sebenarnya hal ini adalah puncak dari semua hal yang sudah terjadi beberapa
bulan kemarin.
Flash Back
“Jadi ikut kan?
Ayo wes ntar tak ijinin deh. Klo kamu ikut tahun depan gak enak, gak bisa
bareng sama temen-temen seangkatan”, mbak Wina ngomong semangat banget.
“Ya, tapi hari itu
aku ada aplikasi. Pengen ikut sih tapi gimana yah?”
“Ya udah sekarang
kamu kebelakang aja, kamu ngobrol sama mas Tama”
“Sini-sini ada apa?
Kenapa sih, Dir?”
“Ini loh mas, Dira
bingung mau ikut Diklatsar atau nggak.” Mbak Niki yang ada di belakang
ikut-ikutan berkoar.
“Oh, gitu! Nah,
kamunya gimana? Pengen ikutan nggak? Kita nggak maksa kok”
“Udah dek ikut aja
ntar ada Deas lo. Dia atlit panjat. Cakep loh dia, kali aja ntar bisa jadian
kalian berdua.” Cerocos mbak Niki sambil senyum-senyum.
“Kamu udah punya
cowok belum?” Tanya mas Tama
“Udah mas”
“Oh. Ya udah jadi gimana
nih keputusannya?”
“Ya deh, aku ikut”
“Nah, gitu aja kok
ribet” kata mas Tama sambil melanjutkan kerjaannya.
“Ya udah semuanya
aku pamit”
“Oke” jawab mereka
serempak.
* * *
DIRA berjalan dengan malas mengikuti arah trotoar di sore yang sepi.
Dira baru tahu ternyata menari juga bisa mengeluarkan bulir-bulir keringat dari tubuhnya.
“Sungguh tak disangka” pikir Dira. Ditengah lamunan tidak pentingnya itu
tiba-tiba Dira dikagetkan dengan ringtone ponselnya yang berdering
panjang, tanda ada panggilan masuk.
“Hallo,
assalamualaikum”
“Waalaikumsalam.
Dek, kamu jadi ikut kan?”
Tanya suara diseberang sana.
“Jadi kok mbak. Iya
bentar lagi aku kesana” jawab Dira.
“Ya udah ntar
dijemput sama mas Didi ya”
“Oke deh!”
Dira mempercepat
langkahnya karena Dira belum mempersiapkan apapun untuk keperluannya.
* * *
SESAMPAINYA di tempat kosnya Dira langsung
mencocokkan list yang dipegangnya dengan barang-barang keperluannya yang kini
terjejer di tempat tidurnya. Semuanya sudah lengkap dan tertata rapi di dalam tas Dira. Dira langsung
bergegas masuk ke kamar mandi, badannya lengket semua setelah berjuang untuk
latihan tari. Beberapa menit kemudian setelah bersiap-siap mas Didi dating
dengan motor birunya dan segera membawa Dira meluncur menuju calon secretariat
Dira.
Sesampainya
di sekretariat
Dira hanya diam tak bergairah. Tubuhnya lelah, latihan tari cukup menguras
tenaganya. Ditengah celoteh kakak-kakak angkatannya Dira lebih memilih untuk
merebahkan kepalanya di atas meja untuk sejenak beristirahat. Tiba-tiba tak lama kemudian istirahat Dira
terusik oleh kakak angkatannya yang mengenalkan Dira kepada seorang cowok
berpakaian hitam. Dia memiliki nama Deas. Setelah itu Dira pun kembali
melanjutkan istirahatnya.
Dalam
hatinya Dira membatin “oh, itu toh yang namanya Deas. Biasa aja gitu dibilang
ganteng.” Dira ill-feel banget sama tuh cowok terbukti dengan sikap Dira
yang nggak pernah tegur sapa sekalipun dengannya. Apalagi waktu Diklat di
lapangan, cowok itu serasa paling bisa dan paling kuat. Memang sih hal itu terlihat karena kakak-kakak
angkatan yang memperlakukannya seperti itu.
* * *
SATU bulan kemudian perubahan terjadi, Deas dan Dira tiba-tiba
begitu dekat sampai-sampai semua orang sekret menyangka mereka berdua jadian. Sepertinya
semua ini terjadi karena tugas Dira mempersiapkan Diklat Lanjutan yang
mengharuskan Dira untuk selalu berada di sekret. Sedangkan Deas memang selalu ada di sekret seharian. Kedekatan
mereka terus berlanjut namun tak berarti apa-apa bagi Dira. Meskipun mereka
sering pergi berdua sikap Dira biasa saja terhadap Deas.
Namun, godaan dan
dugaan teman-teman Dira yang mengatakan kalau Deas suka Dira lama-lama membuat
hati Dira luluh juga. Diam-diam ternyata Dira suka Deas. Setiap kebersamaan
yang mereka lalui membuat Dira bahagia dan ternyata cinta Dira tidak bertepuk
sebelah tangan. Gayung bersambut, Deas juga merasakan hal yang sama seperti
yang dirasakan Dira.
* * *
DEGH! Serasa tertimpa batu raksasa tepat diatas jantungnya ketika
Dira membuka pemberitahuan di FB-nya. Ada tiga komentar untuk foto Deas yang Deas kirim di FB Dira dan
yang paling mengejutkan adalah komentar terakhir dari seseorang bernama Okta.
Jadi ini alasan
kamu masuk Pecinta Alam? Aku benar-benar kecewa sama kamu Deas!
Jadi, intinya nih cewek cemburu ke Dira gara-gara salah satu teman Dira
komentar macem-macem soal foto Deas yang terpampang di FB Dira.
Usut punya usut,
ternyata cewek FB itu adalah mantannya Deas. Gara-gara FB ketentraman hidup
Dira sedikit terusik, pasalnya Okta si cewek FB sejak detik itu mulai meneror
Dira lewat FB andalannya. Cukup membingungkan bagi Dira tentang hubungan Deas
dengan Okta. Hal ini sempat membuat Dira geregetan, akhirnya Dira pun bertanya tentang kebenaran itu pada
Deas dan Deas pun menceritakan semuanya. Kesimpulan dapat ditarik pada akhirnya
dan didapatkan satu kepastian bahwa Deas dan Okta sudah putus. Namun,
pernyataan-pernyataan Okta di FB menunjukkan seolah-olah mereka masih
berpacaran dan Dira adalah pengganggu mereka berdua.
Waktu terus
berjalan dan tanpa disangka kabar mengejutkan mampir di telinga Dira. Deas dan
Okta balikan. Semakin bingunglah Dira, dalam hati Dira berkata “Deas suka aku
nggak sih? Kok balikan sama Okta? Trus ngapain coba kelakuannya kayak gitu ke
aku? Gak tahu ah pusing. Gak ngerti. Cinta memeng rumit, bikin puyeng.” Cukup
lama Dira memendam rasa sukanya pada Deas dan sepertinya perhatian Deas pada
Dira tidak berubah sama sekali meskipun statusnya sudah berubah, berpacaran,
dan mungkin itulah yang membuat Okta membenci Dira. Namun, Dira sudah kebal.
Dira membalas semuanya dengan tenang dan hal itu membuat Okta luluh juga.
Lama-lama sikap Okta pada Dira mulai menghangat.
Detik demi detik
berlalu, musim pun mulai pusing tak menentu. Detik ini panas begitu teriknya
dan detik berikutnya hujan deras pun tiba-tiba datang membuat genangan air
dimana-mana. Dan begitu jugalah hati Dira. Saat ini Dira cukup bahagia dengan selalu
berada di dekat Deas. “Tak apa lah Okta yang menjadi pacar Deas tapi aku yang
selalu berada di dekatnya. Tertawa bersamanya, melihatnya ketika tertidur
dengan pulasnya, dan menghabiskan sebagian besar waktunya bersamaku. Cukup. Aku
sudah bahagia tanpa memilikinya.” Satu hal yang masih mengganjal di pikiran
Dira. “Apakah sebenarnya Deas juga sayang padaku?”. Cukup dengan Dira tahu kalau Deas
sayang Dira itu sudah membuat Dira senang. Hanya itu yang Dira mau. Itu sudah
cukup.
Belakangan ini Dira
baru tahu alasan Deas balikan dengan Okta. Ternyata sebenarnya Deas tidak ingin
kembali bersama Okta tetapi Okta begitu berusaha dan rela menunggu Deas sampai
kapan pun hingga akhirnya Deas kembali bersama Okta. “Awalnya aku nggak mau diajak balikan tapi dia maksa terus. Akhirnya
aku kena lagi”. Itulah bunyi kata-kata yang Deas ucapkan ketika Dira
bertanya pada Deas. Dan satu hal lagi Deas dan Dira sama-sama sudah
mengungkapkan perasaan masing-masing. Namun, bukan berarti mereka jadian.
Tidak. Hanya sekedar saling tahu dan cukup
sampai disini batin Dira.
* * *
AKU tersadar dari lamunan panjangku di balik jendela kamar di kala
hujan saat senja tiba. Yah, aku hanya bisa berharap sikap Okta padaku bisa membaik seperti dulu.
Masalah perasaanku dan Deas? Biarlah Deas bahagia bersama Okta karena
kebahagiaan Deas adalah kebahagiaanku juga. Toh Deas juga sayang pada Okta. Jadi
biarlah mereka berdua bahagia dan aku turut bahagia. Itu saja. Hanya itu yang
ku inginkan.
THE
END