Senin, 25 Maret 2013

HANYA ITU …



SETELAH sekian lama tidak membuka dan membaca diary masa SMP dan SMAku, baru saja aku membuka dan membacanya lagi. Membacanya membuatku menyunggingkan senyum berkali-kali, rasa rindu dan senang serempak datang menghampiriku dimalam minggu ini. Sebuah buku mungil warna pink itu telah berhasil menghiburku, membuatku sejenak melupakan masalah yang sedang terjadi dalam percintaanku.
            Aku belum sepenuhnya melupakan, bahkan kenyataannya aku tak pernah bisa melupakan tetapi aku tak mau ambil pusing. Biarlah. Jika dia ingin berpusing-pusing ria memikirkan hal ini. Silahkan, aku ingin bernostalgia dan bersenang-senang hari ini dan selanjutnya.
            Bukannya aku tertawa diatas penderitaan orang lain. Tidak. Aku tidak sedang bersamanya, bercengkrama dan bersenang-senang dengannya. Silahkan kau bermandikan dan berteman dengan segala prasangka dan negative thingking-mu padaku. Aku tidak peduli. Kamu hanya mempersulit dirimu, kamu tidak mau menyederhanakan pandangan dan pemikiranmu. Bahkan penyikapanmu terhadap suatu masalah pun begitu rumit. Ya sudahlah, nikmati kepedihan yang kau ciptakan sendiri.
            Seandainya aku jadi kamu, aku tidak akan menenggelamkan diriku kedalam kolam kepenatan dan kesedihan yang bisa membunuhku. Karena hidupku begitu berharga untuk disia-siakan. Aku memghilang sejenak dari semuanya. Mereka berdua dan semua kehidupanku di kota itu.
            Selama dua pekan ini aku ingin tenang, meninggalkan segala kesibukan yang menyita waktuku. Di sini, dikampung halamanku dimana aku bisa merasakan kehangatan sekaligus kesejukan yang meresap kedalam tubuh dan hatiku, aku dapat mengatur hidupku kembali dan merasakan kenyamanan. Yah, sebuah keluarga adalah sahabat terbaik yang kita miliki tempat kita mengadu, berkeluh kesah dan menumpahkan segala kelelahan yang menghampiri kita.
* * *
18 pesan diterima
            Aku mengaktifkan kembali ponselku setelah seharian ku non-aktifkan. Satu persatu ku baca pesan-pesan yang memenuhi inbox ku, namu ada dua pesan yang membuat hatiku tercabik. Benar, pesan-pesan itu darinya. Pesan lanjutan dari pesan-pesan yang telah mengisi hampir semua inbox di ponselku. Dia tidak menerima permintaan maafku dan sepertinya dia tidak akan memaafkanku. Dia hanya mengetahui sepenggal saja yang terjadi, dia hanya mengetahui tentang perasaanku. Itu saja, tapi itu sudah cukup untuk memunculkan kembali kebenciannya padaku seperti sebelumnya. Apa mungkin selama ini kebenciaannya padaku tidak pernah hilang? Ah, sudahlah! Aku tidak mau memperburuk keadaan. Sudah cukup, aku lelah.
            Tidak salah mencintai seseorang. Tidak salah memberi perhatian pada orang yang kita sayang. Yang salah adalah dengan cinta itu kita menyakiti orang lain dan dengan cinta itu kita menghancurkan yang ada.
            Seribu maaf yang terucap tidak akan mengubah yang terjadi menjadi seperti semula. Hanya perbuatan yang bisa dilakukan tapi kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu tetap memberinya perhatian. Karena apa? Karena sebenarnya ini yang kamu inginkan dari hubungan ku dengan Deas.
            Itulah dua pesan dari sekian pesan yang membuatku tidak tenang. Sebelumnya, tepatnya semalam sudah banyak pesan-pesan serupa yang mendatangi ponselku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menghilang, memutus hubungan komunikasiku. Sebenarnya hal ini adalah puncak dari semua hal yang sudah terjadi beberapa bulan kemarin.

Flash Back
            “Jadi ikut kan? Ayo wes ntar tak ijinin deh. Klo kamu ikut tahun depan gak enak, gak bisa bareng sama temen-temen seangkatan”, mbak Wina ngomong semangat banget.
            “Ya, tapi hari itu aku ada aplikasi. Pengen ikut sih tapi gimana yah?”
            “Ya udah sekarang kamu kebelakang aja, kamu ngobrol sama mas Tama”
            “Sini-sini ada apa? Kenapa sih, Dir?”
            “Ini loh mas, Dira bingung mau ikut Diklatsar atau nggak.” Mbak Niki yang ada di belakang ikut-ikutan berkoar.
            “Oh, gitu! Nah, kamunya gimana? Pengen ikutan nggak? Kita nggak maksa kok”
            “Udah dek ikut aja ntar ada Deas lo. Dia atlit panjat. Cakep loh dia, kali aja ntar bisa jadian kalian berdua.” Cerocos mbak Niki sambil senyum-senyum.
            “Kamu udah punya cowok belum?” Tanya mas Tama
            “Udah mas”
            “Oh. Ya udah jadi gimana nih keputusannya?”
            “Ya deh, aku ikut”
            “Nah, gitu aja kok ribet” kata mas Tama sambil melanjutkan kerjaannya.
            “Ya udah semuanya aku pamit”
            “Oke” jawab mereka serempak.
* * *
DIRA berjalan dengan malas mengikuti arah trotoar di sore yang sepi. Dira baru tahu ternyata menari juga bisa mengeluarkan bulir-bulir keringat dari tubuhnya. “Sungguh tak disangka” pikir Dira. Ditengah lamunan tidak pentingnya itu tiba-tiba Dira dikagetkan dengan ringtone ponselnya yang berdering panjang, tanda ada panggilan masuk.
            “Hallo, assalamualaikum”
            “Waalaikumsalam. Dek, kamu jadi ikut kan?” Tanya suara diseberang sana.
            “Jadi kok mbak. Iya bentar lagi aku kesana” jawab Dira.
            “Ya udah ntar dijemput sama mas Didi ya”
            “Oke deh!”
            Dira mempercepat langkahnya karena Dira belum mempersiapkan apapun untuk keperluannya.
* * *

SESAMPAINYA di tempat kosnya Dira langsung mencocokkan list yang dipegangnya dengan barang-barang keperluannya yang kini terjejer di tempat tidurnya. Semuanya sudah lengkap dan  tertata rapi di dalam tas Dira. Dira langsung bergegas masuk ke kamar mandi, badannya lengket semua setelah berjuang untuk latihan tari. Beberapa menit kemudian setelah bersiap-siap mas Didi dating dengan motor birunya dan segera membawa Dira meluncur menuju calon secretariat Dira.
            Sesampainya di sekretariat Dira hanya diam tak bergairah. Tubuhnya lelah, latihan tari cukup menguras tenaganya. Ditengah celoteh kakak-kakak angkatannya Dira lebih memilih untuk merebahkan kepalanya di atas meja untuk sejenak beristirahat. Tiba-tiba tak lama kemudian istirahat Dira terusik oleh kakak angkatannya yang mengenalkan Dira kepada seorang cowok berpakaian hitam. Dia memiliki nama Deas. Setelah itu Dira pun kembali melanjutkan istirahatnya.
            Dalam hatinya Dira membatin “oh, itu toh yang namanya Deas. Biasa aja gitu dibilang ganteng.” Dira ill-feel banget sama tuh cowok terbukti dengan sikap Dira yang nggak pernah tegur sapa sekalipun dengannya. Apalagi waktu Diklat di lapangan, cowok itu serasa paling bisa dan paling kuat. Memang sih hal itu terlihat karena kakak-kakak angkatan yang memperlakukannya seperti itu.
* * *
SATU bulan kemudian perubahan terjadi, Deas dan Dira tiba-tiba begitu dekat sampai-sampai semua orang sekret menyangka mereka berdua jadian. Sepertinya semua ini terjadi karena tugas Dira mempersiapkan Diklat Lanjutan yang mengharuskan Dira untuk selalu berada di sekret. Sedangkan Deas memang selalu ada di sekret seharian. Kedekatan mereka terus berlanjut namun tak berarti apa-apa bagi Dira. Meskipun mereka sering pergi berdua sikap Dira biasa saja terhadap Deas.
            Namun, godaan dan dugaan teman-teman Dira yang mengatakan kalau Deas suka Dira lama-lama membuat hati Dira luluh juga. Diam-diam ternyata Dira suka Deas. Setiap kebersamaan yang mereka lalui membuat Dira bahagia dan ternyata cinta Dira tidak bertepuk sebelah tangan. Gayung bersambut, Deas juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Dira.
* * *
DEGH! Serasa tertimpa batu raksasa tepat diatas jantungnya ketika Dira membuka pemberitahuan di FB-nya. Ada tiga komentar untuk foto Deas yang Deas kirim di FB Dira dan yang paling mengejutkan adalah komentar terakhir dari seseorang bernama Okta.
            Jadi ini alasan kamu masuk Pecinta Alam? Aku benar-benar kecewa sama kamu Deas!
Jadi, intinya nih cewek cemburu ke Dira gara-gara salah satu teman Dira komentar macem-macem soal foto Deas yang terpampang di FB Dira.
            Usut punya usut, ternyata cewek FB itu adalah mantannya Deas. Gara-gara FB ketentraman hidup Dira sedikit terusik, pasalnya Okta si cewek FB sejak detik itu mulai meneror Dira lewat FB andalannya. Cukup membingungkan bagi Dira tentang hubungan Deas dengan Okta. Hal ini sempat membuat Dira geregetan, akhirnya Dira pun bertanya tentang kebenaran itu pada Deas dan Deas pun menceritakan semuanya. Kesimpulan dapat ditarik pada akhirnya dan didapatkan satu kepastian bahwa Deas dan Okta sudah putus. Namun, pernyataan-pernyataan Okta di FB menunjukkan seolah-olah mereka masih berpacaran dan Dira adalah pengganggu mereka berdua.
            Waktu terus berjalan dan tanpa disangka kabar mengejutkan mampir di telinga Dira. Deas dan Okta balikan. Semakin bingunglah Dira, dalam hati Dira berkata “Deas suka aku nggak sih? Kok balikan sama Okta? Trus ngapain coba kelakuannya kayak gitu ke aku? Gak tahu ah pusing. Gak ngerti. Cinta memeng rumit, bikin puyeng.” Cukup lama Dira memendam rasa sukanya pada Deas dan sepertinya perhatian Deas pada Dira tidak berubah sama sekali meskipun statusnya sudah berubah, berpacaran, dan mungkin itulah yang membuat Okta membenci Dira. Namun, Dira sudah kebal. Dira membalas semuanya dengan tenang dan hal itu membuat Okta luluh juga. Lama-lama sikap Okta pada Dira mulai menghangat.
            Detik demi detik berlalu, musim pun mulai pusing tak menentu. Detik ini panas begitu teriknya dan detik berikutnya hujan deras pun tiba-tiba datang membuat genangan air dimana-mana. Dan begitu jugalah hati Dira. Saat ini Dira cukup bahagia dengan selalu berada di dekat Deas. “Tak apa lah Okta yang menjadi pacar Deas tapi aku yang selalu berada di dekatnya. Tertawa bersamanya, melihatnya ketika tertidur dengan pulasnya, dan menghabiskan sebagian besar waktunya bersamaku. Cukup. Aku sudah bahagia tanpa memilikinya.” Satu hal yang masih mengganjal di pikiran Dira. “Apakah sebenarnya Deas juga sayang padaku?”. Cukup dengan Dira tahu kalau Deas sayang Dira itu sudah membuat Dira senang. Hanya itu yang Dira mau. Itu sudah cukup.
            Belakangan ini Dira baru tahu alasan Deas balikan dengan Okta. Ternyata sebenarnya Deas tidak ingin kembali bersama Okta tetapi Okta begitu berusaha dan rela menunggu Deas sampai kapan pun hingga akhirnya Deas kembali bersama Okta. “Awalnya aku nggak mau diajak balikan tapi dia maksa terus. Akhirnya aku kena lagi”. Itulah bunyi kata-kata yang Deas ucapkan ketika Dira bertanya pada Deas. Dan satu hal lagi Deas dan Dira sama-sama sudah mengungkapkan perasaan masing-masing. Namun, bukan berarti mereka jadian. Tidak. Hanya sekedar saling tahu dan cukup sampai disini batin Dira.
* * *
AKU tersadar dari lamunan panjangku di balik jendela kamar di kala hujan saat senja tiba. Yah, aku hanya bisa berharap sikap Okta padaku bisa membaik seperti dulu. Masalah perasaanku dan Deas? Biarlah Deas bahagia bersama Okta karena kebahagiaan Deas adalah kebahagiaanku juga. Toh Deas juga sayang pada Okta. Jadi biarlah mereka berdua bahagia dan aku turut bahagia. Itu saja. Hanya itu yang ku inginkan.


THE END

Minggu, 24 Maret 2013

3 CINTA, 3 WARNA, 3 DUNIA (3 Mini Cerpen)


*        AKU, KAU, DAN DIA
Mataku masih sembab karena tangisan semalam. Bergemuruh hati ini. Hanya sesal yang ada. “Mengapa harus kuungkapkan?”. Lebih baik aku diam menyimpannya seperti dulu. “Ini semua gara-gara kalian. Kenapa kalian berkata aku yang tak jelas. Ini akibatnya” rutukku dalam hati.
* * *
Tepatnya 45 hari yang lau kegundahan ini mulai mengakrabi hariku. Berawal dari candaan, nonton bareng, sampai akhirnya cinta ini tumbuh secara terlarang. Aku tahu dari awal ada wanita yang menunggumu disana, yang mencintaimu, yang mendambamu sepenuh hati. Tapi kenapa kau membuka pintumu untuk orang lain sepertiku. Sungguh aku ingin menghindar tapi kenyataan berkata lain.
Lama aku menghindar dari kenyataan bahwa aku menyayangimu dan tetap meyakinkanmu untuk selalu mengingat kenangan indah bersama wanitamu saat kau mulai menyinggung soal kita. Aku sadar hubungan ini bukan hal yang mudah untuk dijalani. Karenanya aku ingin membuatmu berubah pikiran dan kembali menjalani hidupmu seperti dulu bersama wanitamu.
Satu hal yang ku takutkan. Karma itu ada. Bagaimana jika hal yang sama terjadi padaku kelak. Aku sadar sakit yang bagaimana yang akan aku rasakan. Sebab itu aku memilih mundur perlahan. Tak mau menghabiskan hari bersamanya lagi. Tapi lagi-lagi dia menghampiriku mengajakku untuk menemaninya. Ah, wanita memang mudah sekali memaafkan dan lemah. Aku benci kenyataan ini, bahwa aku lemah dihadapannya.
* * *
Hari ini kau berulang tahun yang ke-23. Setelah dua hari yang lalu kulihat foto mesramu bersama wanitamu dan sanggup membuatku manangis semalaman aku tak lagi menggubrismu. Semuanya sebatas pembicaraan pekerjaan tak lebih dari itu. Aku tak peduli dengan hari jadimu. Bahkan aku tak memikirkan sedikitpun kado untukmu.
Namun, perlakuanmu membuatku kembali lemah dan memaafkan kejadian yang lalu. Kemudian secepat kilat ku pikirkan dan ku persiapkan kado hari jadi untukmu. Pada lampion indah ku jatuhkan pilihanku. Cukuplah untuk menemani tidur malammu dan mengingatku saat kau mulai terlelap. Ah, impian sederhana.
Esoknya seperti biasa kau menjemputku untuk pergi kekampus dan mengantarku pulang setelahnya. Sebelum mengembalikanku pulang kau mengajakku makan siang terlebih dahulu. Dan disini petir ini terjadi, disiang bolong, saat matahari masih teriknya menyinari bumi.
Disela-sela makan siang, handphonemu berdering. Kau mengisyaratkanku agar aku tak bersuara. Aku baru tahu setelahnya jika orang yang menelponmu diseberang sana adalah wanitamu. Dia mengabarkan bahwa dia sudah ada dikotamu untuk merayakan hari jadimu. Yah, seharusnya aku tahu jika dia pasti akan menemuimu dihari yang spesial untukmu. Petir itu menyambar-nyambar kian kerasnya, bukan diluar sana tapi disini. Dihatiku.
Tak lama setelah itu kau mengantarku pulang tanpa sepatah kata pun. Ku lihat raut bersalah diwajahmu. Namun hati ini lebih sakit dari rasa bersalahmu. Hari ini aku mengutuki diriku sendiri akan kebodohan yang selama ini kupertahankan. Nyatanya kau tak berdaya pada wanitamu itu. Sejak saat itu kau berubah. Tak ada lagi pesan singkat yang kau kirim, tak ada lagi bunyi motor yang datang didepan rumahku, tak ada lagi candaan bersamamu. Semuanya lenyap. Kebiasaan yang terenggut ini yang menambah luka dihatiku.
Meski dua hari setelahnya kau menghubungiku aku seperti mati rasa. Rasa pedih ini belum hilang. Sudah, biarlah takdir yang berbicara. Aku sudah pasrah. Bukan aku yang patut menentukan akhir kisah ini.

*        PERSIMPANGAN JALANANKU
Belakangan ini aku merasakan keanehan dalam rumah tangga kedua orangtuaku. Komunikasi yang terjalin antara papa dan mamaku tak sejalan. Mereka berdua serasa berada dipersimpangan.
Dan benar saja selang satu minggu mamaku tak tinggal bersama kami lagi. Mamaku memilih tinggal bersama kakek dan nenekku bersama adikku yang memang sudah lebih dulu tinggal disana. Dan beberapa hari kemudian ku temukan surat gugatan cerai diatas meja depan kamarku. Duniaku seakan jungkir balik. Tak pernah terpikirkan olehku masalah sedemikian berat ini menimpa keluargaku.
Sesaat aku linglung mencari pegangan tapi tak kutemukan satu pun sanggahan dalam hidupku. Aku seperti sendirian, tak tahu lagi apa yang seharusnya ku lakukan saat ini. Kepalaku seakan dihantam godam raksasa. Sakit dan membuatku gontai.
* * *
Ku pendam gemuruh dihati ini sendiri. Aku tak mau ada satu pun orang yang tahu tentang masalah ini. Aku malu untuk mengeluh, malu dengan keadaan keluargaku yang berantakan. Begitu juga padamu, gadisku. Aku hanya sanggup mengatakan padamu bahwa aku ingin menyelesaikan masalahku dulu dan membiarkanmu menerka apa sebenarnya yang terjadi padaku. Belum waktunya kau tahu.
Berhari-hari aku menangisi kenyataan pahit ini. Namun aku sadar tak ada yang berubah setelah aku menangis dan menyiksa diri seperti ini. Akhirnya kuberanikan diriku berbicara pada kedua orang tuaku secara terpisah. Tapi malang, yang kudapatkan adalah semakin perih hati ini.
Aku marah. Aku berontak. Aku ini laki-laki. Mengapa hal seperti ini membuatku cengeng dan lemah?. Aku tidak terima semua ini. Setelah semua usaha yang kulakukan untuk keluarga ini dan berakhir nihil. Aku menyerah. Semuanya berhenti disatu titik. Perceraian. Aku menyerah.
* * *
Setelah ini hidupku benar-benar berubah 180. Aku berubah menjadi anak jalanan yang tak pernah pulang. Selama sebulan bisa dihitung dengan jari aku pulang ke rumah. Aku tak tahan berlama-lama di dalamnya. Setiap sudutnya selalu mengingatkanku saat-saat dulu. Rumahku sekarang tak terawat. Sepi. Aku membenci semuanya. Aku membenci kedua orangtuaku. Aku tak tahu lagi harus berpihak pada siapa. Jadi lebih baik aku tak menyayangi siapa pun. Itu cukup adil bagiku.
Argh, aku benci mengakuinya. Aku menjadi lemah setelah itu. Pikiranku terpecah menjadi puing-puing. Kuliah, keluarga, organisasi, dan gadisku. Ingin menyelesaikannya satu per satu tapi semua serba panjang dan rumit. Aku sudah tak sanggup rasanya. Malangnya, gadisku yang selalu menjadi tumpahan emosiku yang selalu meluap-luap. Aku kasihan kepadamu. Aku sayang padamu.
Dengan sabarnya kau mendengar keluhanku meski terkadang aku merasa kau merepotkanku ini itu. Aku bersyukur kau sanggup meredam sedikit emosiku yang meledak-ledak ini. Dan aku berterimakasih karena kau selalu menghadirkan surga kecil dalam hariku.
Aku iri pada keluargamu yang begitu harmonis. Meski ayahmu tak setiap hari pulang karena pekerjaannya yang berada jauh dari kotamu tapi semuanya berjalan seimbang. Kenapa keluargaku tak bisa seperti itu? Lagi dan lagi aku merutuki hidupku. Ah, sudahlah. Cukup dengan keluargamu dan surga kecil yang selalu kau berikan padaku selama ini. Aku bahagia bersamamu.

*        AKU DAN IDEALISMEKU
Banyak yang menyuruhku cepat menikah. Keburu tua katanya. Ah, pemikiran kuno. Aku kan laki-laki kenapa harus cepat-cepat menikah. Toh calonnya saja belum ada. Santai saja lah. Hidup kok diburu nikah.
Mungkin aku salah satu orang yang paling menentang pernikahan dini. Bagiku laki-laki berumur 25 tahun menikah itu termasuk pernikahan dini. Usia matang ya umur 28-30 tahun. Karena menurutku di fase itu lali-laki sudah benar-benar matang pikiran dan finansial. Tak ada lagi keinginan “main-main” seperti pada fase umur 23-26 tahun itu.
 Banyak kawanku menentang cara pandangku ini. Mereka bilang “ Daripada maksiat, zina, mendingan dinikahkan saja. Kan jadi halal semuanya. Dapat pahala”. Aku tak setuju dengan statement-nya. Kalau ada yang bertanya pendapatku akan ku beri dia uang lalu ku suruh dia “jajan” daripada menikah muda.
Gendeng pancen kowe,Yu.” Kalimat itulah yang sering bersarang ditelingaku. Aku cuek saja. Itu yang benar menurutku. Alasan agama itu bullshit. “Aku bisa buktikan 5 tahun lagi kau pasti sudah bosan pada istrimu” kataku pada salah satu kawanku yang memilih menikah muda.
* * *
“Bos, ayo ke EXPOSE.” ajaknya.
“Gak. Mau apa kesana?” tolakku enggan.
     Kawanku yang menikah 5 tahun lalu itu yang mengajakku pergi ke tempat hiburan di kotaku. Saat ini aku sudah malas pergi kesana. Buat apa? Aku sudah puas kesana dulu waktu dia masih berkutat dengan istrinya.
Terkadang aku turuti saja maunya. Setelah dia puas bersenang-senang ku ajak dia ngobrol santai. “Eh, kamu gak takut dosa sama anak istrimu? Kalau aku cuma dosa sama Tuhan, lah kamu dosanya dobel. Sama Tuhan juga istri anakmu.” “Ah, asem kamu. Jangan gitu toh.” Dan aku terkekeh-kekeh melihat ekspresinya. Antara bersalah dan puas. Lucu sekali.
Sudah ku jelaskan dulu fase kematangan laki-laki disetiap jenjang umurnya. Umur 23-25 tahun itu masa-masa libido laki-laki berada dipuncaknya. Masa mahasiswa mengerjakan skripsi itu masa labil, rasanya pengen nikah terus. Apalagi wanitanya ngajakin nikah terus. Nah kalau itu diseriusi bukan malah berhenti nakalnya. Menurut penilaianku selama ini solusi menikahkan itu hanya “menunda kenakalan” sesaat. Nah, disaat teman-temannya yang lain di umur 28-30 tahun sudah matang, sudah malas “main-main” yang nikah muda tadi kenakalannya muncul. Ya sudah telat toh.
Setelah 5 tahun pernikahan dia sudah bosan sama wajah istrinya. “La wong gak nurut se!” Aku bisa membaca bagaimana hidup orang selanjutnya dari responnya menerima nasihat orang lain. Aku memang bukan dukun. Aku hanya hidup dengan idealismeku sendiri. Hidup dengan cara pandangku yang mungkin tak sejalan dengan orang kebanyakan. Bagi yang keberatan dengan cara pandangku aku tak memaksa untuk mengamininya. Ini hanya aku dan idealismeku.

"POSTINGAN PENUH RASA SYUKUR INI UNTUK MEMERIAHKAN  SYUKURAN RAME RAME  MAMA CALVINLITTLE DIJA DAN  ACACICU