Minggu, 24 Maret 2013

3 CINTA, 3 WARNA, 3 DUNIA (3 Mini Cerpen)


*        AKU, KAU, DAN DIA
Mataku masih sembab karena tangisan semalam. Bergemuruh hati ini. Hanya sesal yang ada. “Mengapa harus kuungkapkan?”. Lebih baik aku diam menyimpannya seperti dulu. “Ini semua gara-gara kalian. Kenapa kalian berkata aku yang tak jelas. Ini akibatnya” rutukku dalam hati.
* * *
Tepatnya 45 hari yang lau kegundahan ini mulai mengakrabi hariku. Berawal dari candaan, nonton bareng, sampai akhirnya cinta ini tumbuh secara terlarang. Aku tahu dari awal ada wanita yang menunggumu disana, yang mencintaimu, yang mendambamu sepenuh hati. Tapi kenapa kau membuka pintumu untuk orang lain sepertiku. Sungguh aku ingin menghindar tapi kenyataan berkata lain.
Lama aku menghindar dari kenyataan bahwa aku menyayangimu dan tetap meyakinkanmu untuk selalu mengingat kenangan indah bersama wanitamu saat kau mulai menyinggung soal kita. Aku sadar hubungan ini bukan hal yang mudah untuk dijalani. Karenanya aku ingin membuatmu berubah pikiran dan kembali menjalani hidupmu seperti dulu bersama wanitamu.
Satu hal yang ku takutkan. Karma itu ada. Bagaimana jika hal yang sama terjadi padaku kelak. Aku sadar sakit yang bagaimana yang akan aku rasakan. Sebab itu aku memilih mundur perlahan. Tak mau menghabiskan hari bersamanya lagi. Tapi lagi-lagi dia menghampiriku mengajakku untuk menemaninya. Ah, wanita memang mudah sekali memaafkan dan lemah. Aku benci kenyataan ini, bahwa aku lemah dihadapannya.
* * *
Hari ini kau berulang tahun yang ke-23. Setelah dua hari yang lalu kulihat foto mesramu bersama wanitamu dan sanggup membuatku manangis semalaman aku tak lagi menggubrismu. Semuanya sebatas pembicaraan pekerjaan tak lebih dari itu. Aku tak peduli dengan hari jadimu. Bahkan aku tak memikirkan sedikitpun kado untukmu.
Namun, perlakuanmu membuatku kembali lemah dan memaafkan kejadian yang lalu. Kemudian secepat kilat ku pikirkan dan ku persiapkan kado hari jadi untukmu. Pada lampion indah ku jatuhkan pilihanku. Cukuplah untuk menemani tidur malammu dan mengingatku saat kau mulai terlelap. Ah, impian sederhana.
Esoknya seperti biasa kau menjemputku untuk pergi kekampus dan mengantarku pulang setelahnya. Sebelum mengembalikanku pulang kau mengajakku makan siang terlebih dahulu. Dan disini petir ini terjadi, disiang bolong, saat matahari masih teriknya menyinari bumi.
Disela-sela makan siang, handphonemu berdering. Kau mengisyaratkanku agar aku tak bersuara. Aku baru tahu setelahnya jika orang yang menelponmu diseberang sana adalah wanitamu. Dia mengabarkan bahwa dia sudah ada dikotamu untuk merayakan hari jadimu. Yah, seharusnya aku tahu jika dia pasti akan menemuimu dihari yang spesial untukmu. Petir itu menyambar-nyambar kian kerasnya, bukan diluar sana tapi disini. Dihatiku.
Tak lama setelah itu kau mengantarku pulang tanpa sepatah kata pun. Ku lihat raut bersalah diwajahmu. Namun hati ini lebih sakit dari rasa bersalahmu. Hari ini aku mengutuki diriku sendiri akan kebodohan yang selama ini kupertahankan. Nyatanya kau tak berdaya pada wanitamu itu. Sejak saat itu kau berubah. Tak ada lagi pesan singkat yang kau kirim, tak ada lagi bunyi motor yang datang didepan rumahku, tak ada lagi candaan bersamamu. Semuanya lenyap. Kebiasaan yang terenggut ini yang menambah luka dihatiku.
Meski dua hari setelahnya kau menghubungiku aku seperti mati rasa. Rasa pedih ini belum hilang. Sudah, biarlah takdir yang berbicara. Aku sudah pasrah. Bukan aku yang patut menentukan akhir kisah ini.

*        PERSIMPANGAN JALANANKU
Belakangan ini aku merasakan keanehan dalam rumah tangga kedua orangtuaku. Komunikasi yang terjalin antara papa dan mamaku tak sejalan. Mereka berdua serasa berada dipersimpangan.
Dan benar saja selang satu minggu mamaku tak tinggal bersama kami lagi. Mamaku memilih tinggal bersama kakek dan nenekku bersama adikku yang memang sudah lebih dulu tinggal disana. Dan beberapa hari kemudian ku temukan surat gugatan cerai diatas meja depan kamarku. Duniaku seakan jungkir balik. Tak pernah terpikirkan olehku masalah sedemikian berat ini menimpa keluargaku.
Sesaat aku linglung mencari pegangan tapi tak kutemukan satu pun sanggahan dalam hidupku. Aku seperti sendirian, tak tahu lagi apa yang seharusnya ku lakukan saat ini. Kepalaku seakan dihantam godam raksasa. Sakit dan membuatku gontai.
* * *
Ku pendam gemuruh dihati ini sendiri. Aku tak mau ada satu pun orang yang tahu tentang masalah ini. Aku malu untuk mengeluh, malu dengan keadaan keluargaku yang berantakan. Begitu juga padamu, gadisku. Aku hanya sanggup mengatakan padamu bahwa aku ingin menyelesaikan masalahku dulu dan membiarkanmu menerka apa sebenarnya yang terjadi padaku. Belum waktunya kau tahu.
Berhari-hari aku menangisi kenyataan pahit ini. Namun aku sadar tak ada yang berubah setelah aku menangis dan menyiksa diri seperti ini. Akhirnya kuberanikan diriku berbicara pada kedua orang tuaku secara terpisah. Tapi malang, yang kudapatkan adalah semakin perih hati ini.
Aku marah. Aku berontak. Aku ini laki-laki. Mengapa hal seperti ini membuatku cengeng dan lemah?. Aku tidak terima semua ini. Setelah semua usaha yang kulakukan untuk keluarga ini dan berakhir nihil. Aku menyerah. Semuanya berhenti disatu titik. Perceraian. Aku menyerah.
* * *
Setelah ini hidupku benar-benar berubah 180. Aku berubah menjadi anak jalanan yang tak pernah pulang. Selama sebulan bisa dihitung dengan jari aku pulang ke rumah. Aku tak tahan berlama-lama di dalamnya. Setiap sudutnya selalu mengingatkanku saat-saat dulu. Rumahku sekarang tak terawat. Sepi. Aku membenci semuanya. Aku membenci kedua orangtuaku. Aku tak tahu lagi harus berpihak pada siapa. Jadi lebih baik aku tak menyayangi siapa pun. Itu cukup adil bagiku.
Argh, aku benci mengakuinya. Aku menjadi lemah setelah itu. Pikiranku terpecah menjadi puing-puing. Kuliah, keluarga, organisasi, dan gadisku. Ingin menyelesaikannya satu per satu tapi semua serba panjang dan rumit. Aku sudah tak sanggup rasanya. Malangnya, gadisku yang selalu menjadi tumpahan emosiku yang selalu meluap-luap. Aku kasihan kepadamu. Aku sayang padamu.
Dengan sabarnya kau mendengar keluhanku meski terkadang aku merasa kau merepotkanku ini itu. Aku bersyukur kau sanggup meredam sedikit emosiku yang meledak-ledak ini. Dan aku berterimakasih karena kau selalu menghadirkan surga kecil dalam hariku.
Aku iri pada keluargamu yang begitu harmonis. Meski ayahmu tak setiap hari pulang karena pekerjaannya yang berada jauh dari kotamu tapi semuanya berjalan seimbang. Kenapa keluargaku tak bisa seperti itu? Lagi dan lagi aku merutuki hidupku. Ah, sudahlah. Cukup dengan keluargamu dan surga kecil yang selalu kau berikan padaku selama ini. Aku bahagia bersamamu.

*        AKU DAN IDEALISMEKU
Banyak yang menyuruhku cepat menikah. Keburu tua katanya. Ah, pemikiran kuno. Aku kan laki-laki kenapa harus cepat-cepat menikah. Toh calonnya saja belum ada. Santai saja lah. Hidup kok diburu nikah.
Mungkin aku salah satu orang yang paling menentang pernikahan dini. Bagiku laki-laki berumur 25 tahun menikah itu termasuk pernikahan dini. Usia matang ya umur 28-30 tahun. Karena menurutku di fase itu lali-laki sudah benar-benar matang pikiran dan finansial. Tak ada lagi keinginan “main-main” seperti pada fase umur 23-26 tahun itu.
 Banyak kawanku menentang cara pandangku ini. Mereka bilang “ Daripada maksiat, zina, mendingan dinikahkan saja. Kan jadi halal semuanya. Dapat pahala”. Aku tak setuju dengan statement-nya. Kalau ada yang bertanya pendapatku akan ku beri dia uang lalu ku suruh dia “jajan” daripada menikah muda.
Gendeng pancen kowe,Yu.” Kalimat itulah yang sering bersarang ditelingaku. Aku cuek saja. Itu yang benar menurutku. Alasan agama itu bullshit. “Aku bisa buktikan 5 tahun lagi kau pasti sudah bosan pada istrimu” kataku pada salah satu kawanku yang memilih menikah muda.
* * *
“Bos, ayo ke EXPOSE.” ajaknya.
“Gak. Mau apa kesana?” tolakku enggan.
     Kawanku yang menikah 5 tahun lalu itu yang mengajakku pergi ke tempat hiburan di kotaku. Saat ini aku sudah malas pergi kesana. Buat apa? Aku sudah puas kesana dulu waktu dia masih berkutat dengan istrinya.
Terkadang aku turuti saja maunya. Setelah dia puas bersenang-senang ku ajak dia ngobrol santai. “Eh, kamu gak takut dosa sama anak istrimu? Kalau aku cuma dosa sama Tuhan, lah kamu dosanya dobel. Sama Tuhan juga istri anakmu.” “Ah, asem kamu. Jangan gitu toh.” Dan aku terkekeh-kekeh melihat ekspresinya. Antara bersalah dan puas. Lucu sekali.
Sudah ku jelaskan dulu fase kematangan laki-laki disetiap jenjang umurnya. Umur 23-25 tahun itu masa-masa libido laki-laki berada dipuncaknya. Masa mahasiswa mengerjakan skripsi itu masa labil, rasanya pengen nikah terus. Apalagi wanitanya ngajakin nikah terus. Nah kalau itu diseriusi bukan malah berhenti nakalnya. Menurut penilaianku selama ini solusi menikahkan itu hanya “menunda kenakalan” sesaat. Nah, disaat teman-temannya yang lain di umur 28-30 tahun sudah matang, sudah malas “main-main” yang nikah muda tadi kenakalannya muncul. Ya sudah telat toh.
Setelah 5 tahun pernikahan dia sudah bosan sama wajah istrinya. “La wong gak nurut se!” Aku bisa membaca bagaimana hidup orang selanjutnya dari responnya menerima nasihat orang lain. Aku memang bukan dukun. Aku hanya hidup dengan idealismeku sendiri. Hidup dengan cara pandangku yang mungkin tak sejalan dengan orang kebanyakan. Bagi yang keberatan dengan cara pandangku aku tak memaksa untuk mengamininya. Ini hanya aku dan idealismeku.

"POSTINGAN PENUH RASA SYUKUR INI UNTUK MEMERIAHKAN  SYUKURAN RAME RAME  MAMA CALVINLITTLE DIJA DAN  ACACICU


Tidak ada komentar:

Posting Komentar