AKU,
KAU, DAN DIA
Mataku masih sembab karena
tangisan semalam. Bergemuruh hati ini. Hanya sesal yang ada. “Mengapa harus
kuungkapkan?”. Lebih baik aku diam menyimpannya seperti
dulu. “Ini semua gara-gara kalian. Kenapa kalian berkata aku yang tak jelas.
Ini akibatnya” rutukku dalam hati.
* * *
Tepatnya 45 hari yang lau kegundahan
ini mulai mengakrabi hariku. Berawal dari candaan, nonton bareng, sampai
akhirnya cinta ini tumbuh secara terlarang. Aku tahu dari awal ada wanita yang
menunggumu disana, yang mencintaimu, yang mendambamu sepenuh hati. Tapi kenapa
kau membuka pintumu untuk orang lain sepertiku. Sungguh aku ingin menghindar
tapi kenyataan berkata lain.
Lama aku menghindar dari
kenyataan bahwa aku menyayangimu dan tetap meyakinkanmu untuk selalu mengingat
kenangan indah bersama wanitamu saat kau mulai menyinggung soal kita. Aku sadar
hubungan ini bukan hal yang mudah untuk dijalani. Karenanya aku ingin membuatmu
berubah pikiran dan kembali menjalani hidupmu seperti dulu bersama wanitamu.
Satu hal yang ku takutkan.
Karma itu ada. Bagaimana jika hal yang sama terjadi padaku kelak. Aku sadar
sakit yang bagaimana yang akan aku rasakan. Sebab itu aku memilih mundur
perlahan. Tak mau menghabiskan hari bersamanya lagi. Tapi lagi-lagi dia
menghampiriku mengajakku untuk menemaninya. Ah, wanita memang mudah sekali
memaafkan dan lemah. Aku benci kenyataan ini, bahwa aku lemah dihadapannya.
* * *
Hari ini kau berulang tahun
yang ke-23. Setelah dua hari yang lalu kulihat foto mesramu bersama wanitamu
dan sanggup membuatku manangis semalaman aku tak lagi menggubrismu. Semuanya
sebatas pembicaraan pekerjaan tak lebih dari itu. Aku tak peduli dengan hari
jadimu. Bahkan aku tak memikirkan sedikitpun kado untukmu.
Namun, perlakuanmu membuatku
kembali lemah dan memaafkan kejadian yang lalu. Kemudian secepat kilat ku
pikirkan dan ku persiapkan kado hari jadi untukmu. Pada lampion indah ku
jatuhkan pilihanku. Cukuplah untuk menemani tidur malammu dan mengingatku saat
kau mulai terlelap. Ah, impian sederhana.
Esoknya seperti biasa kau
menjemputku untuk pergi kekampus dan mengantarku pulang setelahnya. Sebelum
mengembalikanku pulang kau mengajakku makan siang terlebih dahulu. Dan disini
petir ini terjadi, disiang bolong, saat matahari masih teriknya menyinari bumi.
Disela-sela makan siang,
handphonemu berdering. Kau mengisyaratkanku agar aku tak bersuara. Aku baru tahu
setelahnya jika orang yang menelponmu diseberang sana adalah wanitamu. Dia mengabarkan
bahwa dia sudah ada dikotamu untuk merayakan hari jadimu. Yah, seharusnya aku
tahu jika dia pasti akan menemuimu dihari yang spesial untukmu. Petir itu
menyambar-nyambar kian kerasnya, bukan diluar sana tapi disini. Dihatiku.
Tak lama setelah itu kau
mengantarku pulang tanpa sepatah kata pun. Ku lihat raut bersalah diwajahmu.
Namun hati ini lebih sakit dari rasa bersalahmu. Hari ini aku mengutuki diriku
sendiri akan kebodohan yang selama ini kupertahankan. Nyatanya kau tak berdaya
pada wanitamu itu. Sejak saat itu kau berubah. Tak ada lagi pesan singkat yang
kau kirim, tak ada lagi bunyi motor yang datang didepan rumahku, tak ada lagi
candaan bersamamu. Semuanya lenyap. Kebiasaan yang terenggut ini yang menambah
luka dihatiku.
Meski dua hari setelahnya kau
menghubungiku aku seperti mati rasa. Rasa pedih ini belum hilang. Sudah,
biarlah takdir yang berbicara. Aku sudah pasrah. Bukan aku yang patut
menentukan akhir kisah ini.
PERSIMPANGAN
JALANANKU
Belakangan ini aku merasakan
keanehan dalam rumah tangga kedua orangtuaku. Komunikasi yang terjalin antara
papa dan mamaku tak sejalan. Mereka berdua serasa berada dipersimpangan.
Dan benar saja selang satu
minggu mamaku tak tinggal bersama kami lagi. Mamaku memilih tinggal bersama
kakek dan nenekku bersama adikku yang memang sudah lebih dulu tinggal disana.
Dan beberapa hari kemudian ku temukan surat gugatan cerai diatas meja depan
kamarku. Duniaku seakan jungkir balik. Tak pernah terpikirkan olehku masalah
sedemikian berat ini menimpa keluargaku.
Sesaat aku linglung mencari
pegangan tapi tak kutemukan satu pun sanggahan dalam hidupku. Aku seperti
sendirian, tak tahu lagi apa yang seharusnya ku lakukan saat ini. Kepalaku
seakan dihantam godam raksasa. Sakit dan membuatku gontai.
* * *
Ku pendam gemuruh dihati ini
sendiri. Aku tak mau ada satu pun orang yang tahu tentang masalah ini. Aku malu
untuk mengeluh, malu dengan keadaan keluargaku yang berantakan. Begitu juga
padamu, gadisku. Aku hanya sanggup mengatakan padamu bahwa aku ingin menyelesaikan
masalahku dulu dan membiarkanmu menerka apa sebenarnya yang terjadi padaku.
Belum waktunya kau tahu.
Berhari-hari aku menangisi
kenyataan pahit ini. Namun aku sadar tak ada yang berubah setelah aku menangis
dan menyiksa diri seperti ini. Akhirnya kuberanikan diriku berbicara pada kedua
orang tuaku secara terpisah. Tapi malang, yang kudapatkan adalah semakin perih
hati ini.
Aku marah. Aku berontak. Aku
ini laki-laki. Mengapa hal seperti ini membuatku cengeng dan lemah?. Aku tidak
terima semua ini. Setelah semua usaha yang kulakukan untuk keluarga ini dan
berakhir nihil. Aku menyerah. Semuanya berhenti disatu titik. Perceraian. Aku
menyerah.
* * *
Setelah ini hidupku benar-benar
berubah 180.
Aku berubah menjadi anak jalanan yang tak pernah pulang. Selama sebulan bisa
dihitung dengan jari aku pulang ke rumah. Aku tak tahan berlama-lama di
dalamnya. Setiap sudutnya selalu mengingatkanku saat-saat dulu. Rumahku
sekarang tak terawat. Sepi. Aku membenci semuanya. Aku membenci kedua
orangtuaku. Aku tak tahu lagi harus berpihak pada siapa. Jadi lebih baik aku
tak menyayangi siapa pun. Itu cukup adil bagiku.
Argh, aku benci mengakuinya. Aku menjadi
lemah setelah itu. Pikiranku terpecah menjadi puing-puing. Kuliah, keluarga,
organisasi, dan gadisku. Ingin menyelesaikannya satu per satu tapi semua serba
panjang dan rumit. Aku sudah tak sanggup rasanya. Malangnya, gadisku yang selalu
menjadi tumpahan emosiku yang selalu meluap-luap. Aku kasihan kepadamu. Aku sayang
padamu.
Dengan sabarnya kau mendengar keluhanku
meski terkadang aku merasa kau merepotkanku ini itu. Aku bersyukur kau sanggup
meredam sedikit emosiku yang meledak-ledak ini. Dan aku berterimakasih karena
kau selalu menghadirkan surga kecil dalam hariku.
Aku iri pada keluargamu yang begitu
harmonis. Meski ayahmu tak setiap hari pulang karena pekerjaannya yang berada
jauh dari kotamu tapi semuanya berjalan seimbang. Kenapa keluargaku tak bisa
seperti itu? Lagi dan lagi aku merutuki hidupku. Ah, sudahlah. Cukup dengan
keluargamu dan surga kecil yang selalu kau berikan padaku selama ini. Aku
bahagia bersamamu.
AKU
DAN IDEALISMEKU
Banyak yang menyuruhku
cepat menikah. Keburu tua katanya. Ah, pemikiran kuno. Aku kan laki-laki kenapa
harus cepat-cepat menikah. Toh calonnya saja belum ada. Santai saja lah. Hidup
kok diburu nikah.
Mungkin aku salah satu
orang yang paling menentang pernikahan dini. Bagiku laki-laki berumur 25 tahun
menikah itu termasuk pernikahan dini. Usia matang ya umur 28-30 tahun. Karena
menurutku di fase itu lali-laki sudah benar-benar matang pikiran dan finansial.
Tak ada lagi keinginan “main-main” seperti pada fase umur 23-26 tahun itu.
Banyak kawanku menentang cara pandangku ini.
Mereka bilang “ Daripada maksiat, zina, mendingan dinikahkan saja. Kan jadi
halal semuanya. Dapat pahala”. Aku tak setuju dengan statement-nya. Kalau ada yang bertanya pendapatku akan ku beri dia
uang lalu ku suruh dia “jajan” daripada menikah muda.
“Gendeng pancen kowe,Yu.” Kalimat
itulah yang sering bersarang ditelingaku. Aku cuek saja. Itu yang benar menurutku.
Alasan agama itu bullshit. “Aku bisa
buktikan 5 tahun lagi kau pasti sudah bosan pada istrimu” kataku pada salah
satu kawanku yang memilih menikah muda.
*
* *
“Bos, ayo ke EXPOSE.” ajaknya.
“Gak. Mau apa kesana?” tolakku enggan.
Kawanku
yang menikah 5 tahun lalu itu yang mengajakku pergi ke tempat hiburan di
kotaku. Saat ini aku sudah malas pergi kesana. Buat apa? Aku sudah puas kesana
dulu waktu dia masih berkutat dengan istrinya.
Terkadang aku turuti
saja maunya. Setelah dia puas bersenang-senang ku ajak dia ngobrol santai. “Eh, kamu gak takut dosa sama anak istrimu? Kalau
aku cuma dosa sama Tuhan, lah kamu dosanya dobel. Sama Tuhan juga istri
anakmu.” “Ah, asem kamu. Jangan gitu toh.” Dan aku terkekeh-kekeh melihat
ekspresinya. Antara bersalah dan puas. Lucu sekali.
Sudah ku jelaskan dulu
fase kematangan laki-laki disetiap jenjang umurnya. Umur 23-25 tahun itu
masa-masa libido laki-laki berada dipuncaknya. Masa mahasiswa mengerjakan
skripsi itu masa labil, rasanya pengen
nikah terus. Apalagi wanitanya ngajakin
nikah terus. Nah kalau itu diseriusi bukan malah berhenti nakalnya. Menurut
penilaianku selama ini solusi menikahkan itu hanya “menunda kenakalan” sesaat.
Nah, disaat teman-temannya yang lain di umur 28-30 tahun sudah matang, sudah
malas “main-main” yang nikah muda tadi kenakalannya muncul. Ya sudah telat toh.
Setelah 5 tahun pernikahan dia
sudah bosan sama wajah istrinya. “La wong
gak nurut se!” Aku bisa membaca bagaimana hidup orang selanjutnya dari
responnya menerima nasihat orang lain. Aku memang bukan dukun. Aku hanya hidup
dengan idealismeku sendiri. Hidup dengan cara pandangku yang mungkin tak
sejalan dengan orang kebanyakan. Bagi yang keberatan dengan cara pandangku aku
tak memaksa untuk mengamininya. Ini hanya aku dan idealismeku.
"POSTINGAN PENUH RASA SYUKUR INI UNTUK MEMERIAHKAN SYUKURAN RAME RAME MAMA CALVIN , LITTLE DIJA DAN ACACICU"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar