Bermula
dari sebuah organisasi pecinta alam aku dan dia bertemu. Della namanya. Seperti
perempuan memang (namanya) tapi dia benar-benar laki-laki tulen. Laki-laki yang
seangkatan denganku meski berumur 2 tahun diatasku.
Sejak
awal dia telah mendominasi pembicaraan kakak-kakak angkatanku. Mungkin karena
dia atlet panjat tebing atau karena dia cukup tampan. Hanya mereka yang tahu.
Dan dia mereka gunakan sebagai magnet pencarian anggota baru entah disengaja
atau tidak.
Selama
pendidikan dasar dia sungguh terlihat menonjol diantara kami. Bisa jadi itu
karena intervensi kakak angkatan yang selalu membuatnya terlihat menonjol. Membawakan
carier (tas ransel untuk kemah) teman yang sudah letih, menjawab lantang setiap
kali disebut namanya, dll. Dan tak pernah ku sangka itu yang membuatku jauh
darinya.
Sejak
perkenalanku dengannya sebelum pendidikan dasar sampai semuanya berakhir dan
dimulainya proses pendidikan lanjutan, aku tidak pernah bertegur sapa
dengannya. Memang sengaja ku buat begitu karena aku tidak cukup suka dengan
sikapnya yang ku pikir sedikit arogan. Dia berlagak seakan dirinyalah yang tahu
segalanya dan dia yang paling bisa diantara kami.
Entah
apa yang terjadi tiba-tiba saja aku menjadi dekat dengannya. Rivalku. Mungkin saja
ini efek dari pertemuan intensku dengannya disekretariat. Aku yang kala itu
menduduki jabatan sebagai sekertaris kepantiaan dikondisikan untuk berada di
sekretariat sejak pagi hingga sore. Sedangkan dia sang operasional selalu di
sekretariat karena rumahnya yang cukup jauh dari kampus. Maka untuk menghemat
waktu dia selalu berada di sekretariat bahkan hingga 24 jam.
Begitulah
dari rival tanpa terduga tiba-tiba dia menjelma menjadi sahabatku. Energinya
ketika bercerita selalu menggebu-gebu, apalagi saat menceritakan tentang panjat
dan naik gunung. Dia menjelma sebuah robot yang baru diganti baterainya.
Energik dan meluap-luap. Seakan muncul api di matanya yang mampu membakar
setiap orang di sekitarnya.
Dia
memang menjadi sosok yang sanggup menghidupkan suasana. Menurutku dia tidak
pandai melucu karena dia tidak punya bakat menjadi komedian. Dan caranya
menghidupkan suasana bukan dengan melucu. Entah apa namanya dia seperti bisa
membangkitkan singa yang tertidur dalam diri setiap orang yang dihadapinya. Kalau
aku tak berlebihan menyebutkannya.
Satu
hal yang menarik darinya adalah kesungguhannya dalam menekuni suatu hal. Ketika
perhatiannya tertuju pada satu hal maka dia akan menekuninya sampai mahir. Itu
terjadi saat dia tertarik pada alam bebas (panjat tebing, rafting, dan hiking). Dan
jadilah dia salah satu anggota yang multitalent dalam organisasi kami.
Saat
itu dia yang menonjol semakin terlihat sebagai bintang. Rivalku melambung jauh
diatasku. Sejenak aku merasa selalu kalah olehnya meskipun tak ada kompetisi
disana. Entah mengapa aku merasa selalu ingin mengalahkannya.
Sekitar
satu tahun kebersamaanku dengannya sang rival sekaligus sahabatku menjelma
menambah satu perdikatnya lagi. Kekasih. Ketika rival menjelma menjadi kekasih keinginan
mengalahkan berubah menjadi suport ketika dia menjalani perlombaan. Seharusnya
begitu. Hahaha, tapi sesungguhnya suport
itu tak langsung muncul bersamaan dengan pergantian predikat tadi.
Dalam
lubuk hati ini masih ada obsesi yang belum terbayarkan. Ya, mengalahkan dia. Tapi
bukan di bidang alam bebas. Aku jelas kalah kalau begitu. Sampai sekarang dia
salah satu alasanku untuk serius di bidang tulis menulis. Bisa dibilang inilah
yang aku suka.
Begitulah
ceritaku bersama Rivalku, Sahabatku, Kekasihku. Rival yang memacuku untuk terus
berkarya. Sahabat yang selalu menyemangatiku. Dan kekasihku yang selalu
memberikan rasa sayangnya padaku.
“Tulisan ini diikut sertakan dalam GA “Siapa Sahabatmu?” pada blog senyumsyukurbahagia.blogspot.com, hidup bahagia dengan Senyum dan Syukur”