MEREKA mengira umurku sepantaran dengan teman-teman
sebayaku. Mereka selalu tak percaya ketika ku sebutkan umur 2 tahun lebih muda
dari teman sebayaku. Yah, “boros” begitulah mereka sering menyebutnya.
Bagaimana tidak, sejak SD, sejak aku mengenal
rasa tidak suka pikiranku tak lagi seperti anak kecil yang selalu diliputi rasa
senang, bahagia, dan tanpa beban. Sejak umur 3 tahun, hidupku telah terpisah
dari kedua orang tua dan adikku. Meski aku masih tinggal bersama tante dan nenekku
tapi tentu saja berbeda.
Bertahun-tahun ku habiskan masa kecilku bersama
nenek, tante, dan kakak sepupuku meski sesekali bapak dan ibu menengokku
disini. Jarak kami memang tak terpaut begitu jauh karenanya ketika bapak rapat
di luar kota disempatkannya untuk menengokku dan membawakan oleh-oleh untukku.
Lambat laun, entah kenapa ada sedikit keengganan
dalam diriku untuk mengikuti ajakan bapak dan ibu untuk bermalam di rumah baru
kami. Setiap weekend mereka selalu menjemputku di rumah nenek untuk dibawa
bermalam selama 2 hari di rumah kami. Seperti orang asing ku perlakukan mereka.
Mungkin karena itu keenganan ini muncul dalam diriku.
Dalam pergaulanku di madrasah aku pun mendapat
perlakuan tak mengenakkan dari temanku yang umurnya lebih tua dariku dan
malangnya aku tak mampu berbuat apa-apa untuk diriku. Aku begitu lemah dan
penakut, aku hanya bisa memendam dalam hati tanpa bisa membalas.
Dan ketika SMP, aku telah mengenal blok-blok.
Gank cewek-cewek popular dan gank cowok-cowok popular. Aku tak suka pada sikap
mereka pada teman-teman dan lagaknya yang sok kuasa tapi lagi-lagi ku hanya
bisa diam dan memendam.
Aku benci ketika aku tak dapat berkata. Aku benci
ketika aku hanya bisa diam dan memendam. Aku benci tak bisa berbuat apa-apa.
Aku penakut, aku tolol, aku bodoh. Aku benci diriku sendiri.
Dan pada akhir masa SMPku aku terasingkan dari
kelompokku. Aku terdamapar di kelas baru yang tak kukenal penghuninya. Hanya
segelintir yang bisa ku sapa dan ku ajak berbicara. Mengenaskannya hidupku. Namun
tak ku sangka disinilah surge masa SMPku. Setidaknya ku rasakan secercah
kebahagiaan dalam masa hidupku.
Memasuki SMA kembali ku rasakan pahitnya hidup.
Aku diperdaya, dibodohi, dan dimanfaatkan. Dan lagi, aku tak bisa menolak
ataupun membantah. Begitu lemahnya diriku. Banyaknya kenangan pahit itu
membentukku menjadi sosok gadis yang pendiam dan acuh pada lingkungan dan tak
kusangka hal itu membunuhku pada akhirnya.
Pasca kelulusan aku dihadapkan pada kenyataan
bahwa bapak diPHK dan itu artinya aku terncam tak bisa meneruskan kejenjang
perkuliahan. Tiap hari aku harus melihat bapak yang duduk dibalik meja kamarku
dan aku pun harus mendengar omelan ibu yang menyuruh bapak segera mencari
pekerjaan baru. Dan setiap pulang kerumah aku pun harus rela mendengar keluh kesah
ibu tentang kondisi financial kami yang pas-pasan. Meski ku akui ibu seorang pengatur keuangan yang
handal tetapi tak terbayangkan jika kondisi seperti ini terus terjadi dalam
keluargaku.
Menginjak perkuliahan kembali pikiranku
diresahkan oleh kenyataan bahwa aku tak memiliki teman di sini. Aku sendiri
ditengah ramainya suasana kampusku. Aku tak dapat bersosialisasi, aku tak bisa
bergaul. Dan pada akhirnya ku menemukan tempat singgah yang memberiku sebuah
keluarga baru di perantauan ini. Namun nyatanya hidupku belum berakhir happy
ending.
Setahun berjalan tiba-tiba dipersembahkan musuh
untukku. Tak ku inginkan tentunya tapi tak bisa kusangkal kehadirannya dan dia
berhasil memperparah peliknya hidupku. Tak berhenti sampai disitu dalam proses
perkuliahan pun aku merasa tak bisa apa-apa. Aku tak dapat mengetahui apa
kelebihankku tapi aku bisa menyebutkan sejuta kelemahanku. Aku tak berani
berkata, aku tak berani bertanya, aku tak dikenal, dan aku tak menyapa. Aku
menolak sikapku ini tapi aku tak kuasa untuk merubahnya. Aku bingung harus
diapakan hidupku ini?????